Diterbitkan Sep 02 2021

College Students’ Mental Health: Caraku untuk Bertahan

5 minute read

Tulisan ini menceritakan pengalamanku saat menjadi mahasiswa baru yang mentalnya nggak baik-baik aja, namun aku sanggup mencari jalan keluarnya hingga bisa bertahan sampai sekarang. Tentu membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mencari jalan keluarnya. Cerita tentang pengalaman ini aku harap dapat menjadi inspirasi bagi pembaca, bahwa apapun kesulitannya bisa diselesaikan tanpa harus terburu-buru.

Halo! Perkenalkan, namaku Wonderwin. Terima kasih untuk Diceritain yang menyediakan wadah bagiku menceritakan pengalaman ini. Sepertinya, sekarang momen yang tepat buatku untuk sharing cerita ini deh, hihi. Apalagi ceritaku menyangkut kehidupan mahasiswa baru, jadi para maba 2021 sekarang bisa belajar juga dari ceritaku.

Aku nemu pertanyaan di Twitter,

“Apa penyesalan mahasiswa lama waktu di semester awal? Biar kami mahasiswa nggak tersesat nih!”

Menurutku dari pertanyaan ini, bisa disimpulkan bahwa banyak maba yang khawatir dengan kehidupan kuliah, terutama mereka yang mungkin tidak bisa mencari jawaban melalui orang sekitarnya.

“Nggak ada penyesalan,”

Itu jawabanku, diikuti dengan fakta bahwa aku bukan mahasiswa ambisius, tapi aku datang dengan mental yang nggak baik-baik aja. Dari jawabanku, mungkin mereka berpikir aku berbohong. Tapi, sampai saat ini aku bisa ada di semester lima tanpa adanya si penyesalan. Mungkin lebih baik aku memberitahu latar belakang diriku terlebih dahulu sebelum membahas caraku survive  lebih dalam lagi.

Latar Pengalaman

Waktu aku jadi maba, aku ada di kondisi mental yang nggak baik-baik aja. Pengalaman buruk di SMK  yang masih berbekas sampai awal masuk dunia perkuliahan bikin aku ngerasa takut untuk kenalan sama orang baru, belum lagi aku masuk ke jurusan yang 50:50 (antara mau dan gak mau), ekonomi keluarga yang terganggu, banyak kegiatan, bahkan ada masalah yang berat banget dan gak bisa aku katakan sembarangan. Aku sering butuh waktu sendirian tapi sering ditahan karena aku terpaksa satu kamar kos bareng sepupuku, dan itu bikin nggak nyaman.

Pengalaman yang sangat ku ingat yaitu ketika masa OSPEK jurusan. Kami diberikan tugas yang perlu pengeluaran sedangkan aku lagi kesulitan secara ekonomi. Keuangan jadi alasan yang bikin aku absen dua kali di OSPEK jurusan, belum  lagi aku capek secara mental juga. Syukurnya, kakak peer dan ketua OSPEK jurusan mau mendengar ceritaku.

Dampak

Karena masalah-masalah itu, aku dipandang sebagai orang yang penyendiri, dingin, dan cuek (lebih ke apatis, sih) oleh teman kampusku. Sebagian dari mereka juga dengan mudahnya menilaiku seenak jidat.  Misalnya, waktu aku lagi sakit dan gak kuat hadir ke kampus (kelasku ada di lantai atas dan lift sering penuh), salah satu dari mereka bertanya “Kenapa gak masuk? Males ya? Hehe.” Ada juga satu orang yang nawarin diri untuk mendengar ceritaku, aku cerita kalau aku punya pengalaman buruk di SMK dan aku merasa sendirian. Tapi responnya, “Padahal mah kita tuh gak sendiri, suka gak bersyukur aja itu teh, wkwk.” Nggak cuma sampai situ, dia juga seolah olah menyindirku melalui  Instagram Story-nya yang intinya kita harus selalu bersyukur, bersyukur, bersyukur, dan kalau nggak bersyukur pasti ngerasa itu, ini, ditambah dengan label “self reminder”. Jelas aku tersinggung karena itu di-upload belum lama dari aku cerita. Kata-katanya persis sama apa yang dia bilang ke aku, dan paling utama dia langsung menilai aku gak bersyukur.

Sakit hati sih, apa nggak makin “nggak baik-baik aja” tuh?

Aku sempat ngerasa nggak tahu hidup buat apa lagi, karena masalah terbesar dan pandangan orang-orang ke aku itu. Aku jadi pengen pergi ke suatu tempat pakai identitas baru. Tapi aku bersyukur karena ada teman yang mau membantuku sampai sebelum aku berulang tahun  yang ke-18 tahun. Lalu tepat di hari ulang tahunku, aku meyakinkan diri untuk memulai lembaran baru di kehidupanku. Tentunya proses menjadi “aku” sampai hari ini bukan hal yang mudah dan cepat juga. Sepanjang itu aku hanya mencoba untuk berdamai dengan diri sendiri.

Caraku menghadapinya

Beberapa bulan kemudian, tepatnya waktu mau libur semester, aku mulai  memfokuskan diri untuk “memperbaiki” mentalku. Aku selalu teringat dengan kalimat validasi perasaan dan emosi. Jadi, langkah pertamaku adalah mencoba untuk memvalidasi setiap perasaan dan emosiku dengan mengatakan pada diri sendiri “Iya benar, aku lagi nggak baik-baik aja”, “Aku lagi capek”, “Aku sedih”, dan sebagainya. Aku rasain itu, aku nerima sampai aku bisa sadar bahwa hal yang aku butuhkan adalah beristirahat sejenak.

Terus aku benar-benar beristirahat, secara  fisik, mental, dan pikiran. Kegiatan yang aku lakuin selama istirahat itu bukan yang rebahan pagi sampai sore, atau keluar buat ke kamar mandi dan makan aja, NO! melainkan aku berolahraga, mencoba resep makanan baru, belajar make up, dan kegiatan positif lainnya. Semua aktivitas itu tidak dilaksanakan secara bersamaan. Tapi karena kebutuhan aku terpenuhi, aku jadi termotivasi untuk mencoba berbagai kegiatan. Setelah cukup beristirahat dan mencoba kegiatan yang positif, aku ngerasa butuh hal yang lain. Aku coba ikut ke acara makan bersama bareng temen-temen SMP yang sudah tiga tahun nggak ketemu, rasanya menyenangkan sekali. Berhubung aku ngerasain pengalaman buruk di SMK dan ngerasa sedikit dipandang buruk di kampus, jadi aku sangat senang sama gimana temen-temen SMP menerima aku disana. Waktu aku unggah foto dan video-ku sama temen SMP di Instagram, beberapa temenku bilang “Wah kamu vibes-nya beda banget”, “Ih lebih fresh sekarang”, dan “Kamu kerasa banget vibes-nya berubah jadi lebih positif!” Aku juga ngerasa selain senang, aku jadi berpikir lebih positif meski masih suka triggered sama beberapa hal.

Masuk ke semester 3, dimana mentalku sudah lebih baik, aku baru masuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Aku jalani kuliah dengan santai tapi bertanggung jawab. Tugas dan ujian aku kerjain sesuai kemampuanku. Di libur tahun ini juga aku isi dengan ikut volunteer, webinar, lomba, ikut kelas gratis buat tambah skil, dan sekarang aku mulai nulis. Ini aja aku nulis buat blog Diceritain, hihi. Aku yang sebelumnya takut kenalan sama orang baru, sekarang temen luar jurusan dan luar kampusnya ada dimana-mana. Pengalamanku memang belum sebanyak kakak tingkat semester akhir atau beberapa temenku, tapi aku udah ngelakuin sesuai kemampuanku. Gak ada penyesalan tentang perkuliahan, atau mungkin lebih tepatnya aku jadiin penyesalan itu sebagai pelajaran karena aku gak mungkin bisa mundur. Aku seneng bisa menyadari lebih awal, karena aku jadi bisa maju dan perbaiki buat kedepannya.

Catatan untuk MABA

Aku berharap cerita aku ini bisa bermanfaat. Buat maba atau mungkin mahasiswa angkatan sebelum aku yang ngerasain hal yang sama kayak aku, nggak perlu terburu-buru atau jadi insecure karena melihat orang-orang sekitar yang “produktif”. Jangan sampai rasa insecure itu malah bikin overproductive dan bikin kamu lupa makan, minum, ngerasa tertekan, atau bahkan burnout. Kamu perlu aware sama diri kamu sendiri. Kita manusia punya kapasitasnya masing-masing dan sangat wajar kalau kamu gak bisa ngelakuin apa yang dilakuin orang lain. Your mental health is number 1! Saat kamu punya mental yang lebih baik dan kebutuhan-kebutuhan kamu terpenuhi, kamu bisa termotivasi buat ngelakuin hal lain lho!